Setelah kita mempelajari dan memahami tafsir atau kandungan ayat-ayat sebelumnya dari surat ini , Sekarang saatnya kita mempelajari kandungan atau tafsir dari ayat-ayat berikut ini
Ayat 38-40: Hukum pencurian dan penjelasan tentang tobat dan syarat-syaratnya
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨) فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ
ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٩) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٤٠
Terjemah Surat Al Maidah Ayat 38-40
38. Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri[1], potonglah tangan keduanya[2] (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah[3]. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
39.
Tetapi barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan
memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sungguh,
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[4].
40.
Tidakkah kamu tahu, bahwa Allah memiliki seluruh kerajaan langit dan
bumi, Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki dan mengampuni siapa yang
Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu[5].
Ayat
41-43: Hiburan bagi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap sikap menyakitkan orang-orang Yahudi dan makar orang-orang
munafik, dan penjelasan bagaimana orang-orang Yahudi mengingkari hukum-hukum Taurat
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ
مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ
قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ
لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ
مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ
تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ
لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ
يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي
الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٤١) سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
(٤٢) وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِنْدَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ
اللَّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ
بِالْمُؤْمِنِينَ (٤٣
Terjemah Surat Al Maidah Ayat 41-43
41.[6] Wahai rasul (Muhammad)! Janganlah kamu disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya[7]. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman[8]; dan (juga) orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong[9] dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu[10]. Mereka mengubah[11]
kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, "Jika
(hukum) ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah, dan
jika kamu diberi yang bukan (hukum) ini, maka berhati-hatilah."[12]
Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun kamu
tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya).
Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dihendaki Allah untuk
menyucikan hati mereka[13]. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.
42. Mereka sangat suka mendengar berita bohong[14], banyak memakan (makanan) yang haram[15].
Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad) untuk meminta
putusan, maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari
mereka[16],
dan jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan
membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika kamu memutuskan (perkara
mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil.
43. Dan bagaimana mereka
akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat
yang di dalamnya (ada) hukum Allah[17], kemudian mereka berpaling setelah itu? Sungguh, mereka bukan orang-orang yang beriman[18].
Ayat 44-47: Taurat dan Injil merupakan kitab samawi yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan keharusan memutuskan perkara menurut hukum yang diturunkan Allah
إِنَّا
أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا
النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ
اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ
وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤) وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
(٤٥) وَقَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَآتَيْنَاهُ الإنْجِيلَ فِيهِ
هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ
وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (٤٦) وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الإنْجِيلِ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤٧
Terjemah Surat Al Maidah Ayat 44-47
44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya[19]. Yang dengan kitab itu para nabi[20]
yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang
Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya[21]. Karena itu janganlah kamu[22] takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku[23]. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah[24]. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir[25].
45. Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)[26] bahwa nyawa[27] (dibalas) dengan nyawa, mata[28] dengan mata, hidung[29] dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi[30] dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya[31] (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya[32],
maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.
46. Kami teruskan jejak
mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan mengutus Isa putera Maryam,
membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat[33]. Dan Kami menurunkan Injil kepadanya[34], di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya[35], dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
47. Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya[36]. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik[37].
[1]
Mencuri adalah mengambil harta orang lain yang terpelihara secara
sembunyi-sembunyi tanpa keridhaannya. Ia termasuk dosa besar karena
hukumannya yang begitu buruk, yaitu dipotong tangannya. Jika telah
dipotong tangannya, maka tangannya dipanaskan dalam minyak agar
urat-urat tertutup sehingga darah berhenti. Keumuman pencurian yang
berlaku potong tangan di ayat tersebut dibatasi dengan beberapa hal
berikut:
- Hirz, yakni pencurian dilakukan dari
tempat yang terjaga atau tersimpan secara uruf (kebiasaan yang berlaku),
jika mencuri bukan dari tempat yang terjaga, maka tidak berlaku potong
tangan.
- Barang yang dicuri harus mencapai
nishabnya, yaitu 1/4 dinar atau 3 dirham atau senilai dengan salah
satunya, jika di bawah dari nilai ini, maka tidak berlaku potong tangan.
[2]
Yakni tangan kanannya dari kuu' (pergelangannya atau sebelah bawah ibu
jari). Jika melakukan lagi, maka dipotong kaki kirinya dari persendian
kakinya. Jika mengulangi lagi, maka dipotong tangan kirinya, dan jika
melakukan lagi, maka dipotong kaki kanannya. Jika melakukan lagi, diberi
hukuman ta'zir, seperti dengan dipenjara sampai mati.
[3] Sekaligus sebagai pelajaran bagi para pencuri yang lain sehingga mereka tidak jadi mencuri.
[4]
Namun demikian, tobatnya itu tidak menggugurkan hak anak Adam, berupa
pemotongan tangan dan pengembalian haknya. Tetapi jika pemiliknya
memaafkan sebelum dilaporkan kepada pemerintah, maka pemotongan tangan
gugur.
[5] Termasuk di antaranya adalah menyiksa dan mengampuni kepada siapa yang Dia kehendaki.
[6]
Muslim meriwayatkan dari Barra' bin 'Azib ia berkata: Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melewati orang Yahudi dalam keadaan dihitamkan
dan didera, lalu Beliau memanggil mereka dan bertanya, "Apakah seperti
ini, kamu mendapatkan hukuman pezina dalam kitabmu?" Mereka menjawab,
"Ya." Maka Beliau memanggil salah seorang di antara ulama mereka dan
berkata, "Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah yang telah menurunkan
kitab Taurat kepada Musa, apakah seperti ini kamu mendapatkan hukuman
pezina dalam kitab kamu?" Ia menjawab, "Tidak." Jika sekiranya engkau
tidak bertanya kepadaku dengan nama itu tentu aku tidak akan
memberitahukan kamu, kami mendapatkan rajam di sana, akan tetapi
perbuatan itu sering terjadi di kalangan orang-orang terhormat di antara
kami. Oleh karena itu, jika kami mendapatkan orang yang terhormat
(melakukannya), maka kami biarkan dan jika kami mendapatkan orang yang
lemah (melakukannya), maka kami tegakkan had terhadapnya. Kami pun
berkata, "Marilah kita berkumpul untuk menetapkan sesuatu yang akan kita
pakai dalam memberikan hukuman kepada orang terhormat dan orang yang
rendah; kita tetap penghitaman dan dera sebagai ganti rajam." Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ya Allah,
sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan perintah-Mu
ketika mereka mematikannya." Beliau pun memerintahkan dirajam, lalu
dirajamlah orang tersebut. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Wahai rasul (Muhammad)! Janganlah kamu disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya" sampai ayat, "Jika (hukum) ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah,"
di mana orang itu mengatakan, "Datangilah Muhammad! Jika ia
memeintahkan dihitamkan dan didera, maka terimalah hukum itu, tetapi
jika dia memfatwakan kamu untuk dirajam, maka berhati-hatilah." Kemudian
Allah menurunkan ayat, "Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir", "Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" dan " Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (lih. Al Maa'idah: 44, 45 dan 47).
[7]
Yakni memperlihatkan kekafirannya ketika ada kesempatan. Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam sangat berkeinginan agar orang lain
mendapatkan hidayah dan merasa sedih jika mereka tidak memperolehnya,
atau terhadap orang-orang yang nampaknya telah memperoleh hidayah, namun
kemudian berbalik kafir. Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menghibur Beliau agar tidak bersedih terhadap mereka itu, karena memang
tidak ada kebaikan dalam diri mereka dan tidak ada keinginan kepada
kebaikan sebagaimana hal ini diketahui dari sikap mereka seperti yang
disebutkan dalam ayat di atas.
[8]
Adapun orang-orang yang benar-benar beriman, di mana imannya telah
masuk ke dalam hatinya, maka dirinya jauh dari kembali kepada kekafiran
dan enggan mencari pengganti keimanannya. Mudah-mudahan kita digolongkan
Allah ke dalamnya, amin.
[9]
Maksudnya orang-orang Yahudi sangat suka mendengar perkataan-perkataan
pendeta mereka yang dusta, atau sangat suka mendengar
perkataan-perkataan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
disampaikan kepada pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara
yang tidak jujur.
[10]
Maksudnya adalah mereka sangat suka mendengar perkataan
pemimpin-pemimpin mereka yang dusta yang belum pernah bertemu dengan
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam karena sangat benci kepada
beliau seperti orang-orang Yahudi yang tinggal di Khaibar, atau sangat
suka mendengarkan perkataan-perkataan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam untuk disampaikan secara tidak jujur kepada kawan-kawannya
tersebut.
[11]
Yakni merubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.
Mereka juga mena'wil ayat-ayat Allah sesuai hawa nafsu mereka untuk
menyesatkan manusia dan menolak kebenaran.
[12]
Kata-kata ini mereka ucapkan ketika hendak meminta keputusan kepada
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada yang mereka inginkan selain mengikuti selera hawa
nafsu, yakni jika keputusan Beliau sesuai dengan selera mereka, maka
mereka menerimanya, namun jika tidak sesuai selera mereka, maka mereka
menolaknya. Dalam tafsir Al Jalaalain disebutkan, bahwa dua orang yahudi
Khaibar yang sudah menikah melakukan zina, lalu orang-orang Yahudi
Khaibar tidak mau merajamnya, maka mereka mengirim utusan kepada Yahudi
Bani Quraizhah di Madinah agar bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang hukuman yang harus ditimpakan kepada pezina yang sudah
menikah itu. Jika Beliau memutuskan bahwa kedua orang itu harus didera
dan dihitamkan mukanya, maka mereka akan menerimanya, namun jika selain
itu, misalnya rajam, maka mereka menolaknya.
[13]
Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang niatnya mendatangi hukum
syar'i karena ingin mencari hukum yang sesuai dengan selera hawa
nafsunya, di mana jika sesuai dengan seleranya, maka ia senang, namun
jika tidak sesuai ia pun kesal, maka yang demikian menunjukkan keadaan
hatinya yang tidak bersih. Sebaliknya, orang yang mendatangi hukum
syar'i dan ridha kepadanya, baik sesuai dengan seleranya maupun tidak,
maka hal itu menunjukkan kebersihan hatinya. Ayat di atas juga
menunjukkan bahwa bersihnya hati merupakan sebab terhadap semua
kebaikan, dan pendorong terbesar untuk berkata dan bersikap benar.
[14] Karena kurangnya agama dan akal mereka.
[15] Seperti uang sogokan dan sebagainya.
[16]
Ada yang berpendapat, bahwa perintah berpaling dari mereka dimansukh
dengan ayat "wa anihkum bainahum bimaa anzalallah" (Al Maa'idah: 49)
yang memerintahkan untuk memutuskan perkara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah jika mereka membawa masalahnya kepada kita untuk
diputuskan. Namun menurut Syaikh As Sa'diy, bahwa ayat di atas tidaklah
mansukh, bahkan hakim diberikan pilihan antara memberikan keputusan atau
berpaling dari memutuskan masalah mereka karena tidak ada yang mereka
inginkan dari hukum syara' selain mencari keputusan yang sesuai dengan
hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, jika orang yang datang kepada ulama
meminta fatwa atau keputusan diketahui keadaannya, bahwa jika diberi
fatwa atau diputuskan ia tidak ridha, maka tidak wajib baginya memberi
fatwa dan memberi keputusan, dan jika memilih untuk memberikan
keputusan, maka seorang ulama harus memutuskan dengan adil.
[17] Seperti ayat tentang hukum rajam. Dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar disebutkan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُتِىَ بِيَهُودِىٍّ وَيَهُودِيَّةٍ
قَدْ زَنَيَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى جَاءَ
يَهُودَ فَقَالَ « مَا تَجِدُونَ فِى التَّوْرَاةِ عَلَى مَنْ زَنَى » .
قَالُوا نُسَوِّدُ وُجُوهَهُمَا وَنُحَمِّلُهُمَا وَنُخَالِفُ بَيْنَ
وُجُوهِهِمَا وَيُطَافُ بِهِمَا . قَالَ « فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ » . فَجَاءُوا بِهَا فَقَرَءُوهَا حَتَّى إِذَا
مَرُّوا بِآيَةِ الرَّجْمِ وَضَعَ الْفَتَى الَّذِى يَقْرَأُ يَدَهُ عَلَى
آيَةِ الرَّجْمِ وَقَرَأَ مَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا وَرَاءَهَا فَقَالَ
لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلاَمٍ وَهْوَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم مُرْهُ فَلْيَرْفَعْ يَدَهُ فَرَفَعَهَا فَإِذَا تَحْتَهَا آيَةُ
الرَّجْمِ فَأَمَرَ بِهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرُجِمَا
.
"Bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah dihadapkan orang Yahudi laki-laki dan
perempuan yang berzina, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pergi mendatangi orang-orang Yahudi dan bersabda, "(Hukuman) apa yang
kalian dapatkan dalam Taurat bagi orang yang berzina?" Mereka menjawab, "Kami menghitamkan mukanya dan menaruhnya di atas hewan kendaraan, menyilangkan antara kedua mukanya dan dikelilingi."
Beliau bersabda, "Bawalah kemari Taurat itu, jika kamu orang-orang yang
benar!" Maka mereka pun membawanya, sehingga ketika telah sampai pada
ayat rajam, pemuda yang membacanya menaruh tangannya (menutupi) ayat
tentang rajam, ia baca ayat sebelum dan sesudahnya. Lalu Abdullah bin
Salam yang ketika itu bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata, "Perintahkan dia untuk mengangkat tangannya!", ia pun
mengangkat tangannya, ternyata di bawah tangannya ada ayat tentang
rajam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
keduanya dirajam."
[18]
Karena jika mereka beriman, tentu mereka tidak akan berpaling dari
hukum Allah yang ada dalam kitab mereka, dan datang kepadamu dengan
harapan kamu memutuskan sesuai hawa nafsu mereka. Oleh karena itu,
mereka bukanlah orang-orang yang beriman, karena mereka menjadikan hawa
nafsu sebagai tuhannya dan menjadikan hukum-hukum keimanan mengikuti
hawa nafsu mereka.
[19]
Yakni petunjuk yang menunjuki manusia dari kesesatan serta cahaya yang
menerangkan hukum-hukum. di mana dengan cahaya itu menjadi teranglah
gelapnya kebodohan, keraguan, kebimbangan, syubhat (kesamaran) dan
syahwat (hawa nafsu).
[20]
Yakni para nabi dari Bani Israil, di mana mereka adalah makhluk pilihan
Allah. Jika mereka (para nabi) yang menjadi pemimpin umat telah
mengikuti kitab itu, lantas apa yang menghalangi orang-orang yang rendah
itu untuk mengikuti imam (pemimpin) mereka. Namun mereka telah memilih
pemimpin yang lain; pemimpin yang memiliki kebiasaan suka merubah firman
Allah, hubburiyaasah (cinta kepada kepemimpinan dan jabatan),
menyembunyikan kebenaran dan menampakkan yang batil. Mereka inilah
pemimpin-pemimpin dalam kesesatan, mereka inilah yang mengajak kepada
neraka, wal 'iyaadz billah.
[21]
Yakni mereka dijadikan rujukan tentang kitab itu dan dijadikan rujukan
dalam hal yang masih samar bagi manusia. Oleh karena itu, Allah Ta'ala
telah membebani ahli ilmu dengan beban yang tidak dipikul oleh
orang-orang yang jahil; mereka wajib memikul beban itu dan tidak
mengikuti orang-orang jahil yang senang dengan main-main dan sikap
malas, mereka pun tidak membatasi diri mereka dengan ibadah yang
manfaatnya bagi diri mereka semata, seperti dzikr, shalat, zakat, haji,
puasa dan sebagainya, di mana jika yang melakukannya bukan ahli ilmu
niscaya cukup dan akan selamat. Adapun ahli ilmu, di samping mengerjakan
ibadah tersebut, mereka dituntut untuk mengajarkan manusia dan
mengingatkan mereka terhadap hal-hal yang dibutuhkan berupa masalah
agama, khususnya masalah ushul (dasar-dasar) agama dan hal-hal yang
biasa dikerjakan manusia serta tidak takut kepada manusia, oleh
karenanya mereka tidak menyembunyikan ilmu, dan hanya takut kepada Allah
Ta'ala saja.
[22]
Yakni janganlah kamu wahai orang-orang Yahudi takut kepada manusia
untuk menampakkan pengetahuan yang ada pada dirimu tentang sifat Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
[23] Oleh karena itu, jangan menyembunyikannya.
[24]
Yakni kesenangan dunia. Ini merupakan musibah yang menimpa orang alim,
jika ia dapat selamat daripadanya, maka yang demikian merupakan tanda
bahwa dirinya diberi taufik dan menunjukkan kebahagiaannya, yakni
perhatiannya tertuju kepada sikap sungguh-sungguh menuntut ilmu,
mengajarkan ilmu serta mengetahui bahwa mereka diamanahi untuk menjaga
agama Allah, memiliki rasa takut kepada Allah serta tidak takut kepada
manusia dalam mengerjakan kewajibannya serta tidak mengutamakan dunia di
atas agama. Sebaliknya, tanda celakanya seorang alim adalah senang
dengan perkara sia-sia, tidak mengerjakan kewajibannya, tidak peduli
dengan amanah yang dipikulkan kepadanya, menjual agama dengan dunia,
mengambil risywah (sogok) terhadap hukum-hukum agama sehingga berani
menyembunyikan yang hak, mengambil harta terhadap fatwa-fatwanya dan
tidak mau mengajarkan ilmu kepada hamba-hamba Allah kecuali dengan upah.
Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat,
amalan yang diterima serta mengaruniakan kepada kami maaf dan
keselamatan dari setiap bala', kabulkanlah wahai Allah Yang Maha Mulia.
[25]
Yakni kekufuran di bawah kekufuran, di mana bisa menjadi kufur akbar
(mengeluarkan dari Islam) jika sampai menganggap halal berhukum dengan
hukum selain Allah, atau menganggap ada hukum yang lebih baik dari hukum
Allah atau menghina hukum Allah, dan bisa menjadi dosa besar jika tidak
seperti itu (seperti mengakui bahwa hukum Allah yang hak, yang terbaik,
dan keputusannya yang salah).
[26] Syari'at qisas juga berlaku dalam syari'at Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
[27] Jika dibunuh.
[28] Jika dicolok.
[29] Jika dipotong.
[30] Jika dicabut. Demikian juga anggota badan lainnya yang bisa dilakukan qisas tanpa melebihi batas.
[31]
Oleh karena itu, barang siapa yang melukai orang lain secara sengaja,
maka dilakukan qisas terhadap yang melukai tersebut sesuai perbuatannya
melukai, baik batasnya, tempatnya, panjangnya, dan kedalamannya. Perlu
diketahui, bahwa syari'at sebelum kita merupakan syari'at bagi kita
selama tidak ada dalam syari'at kita yang menyelisihinya.
[32] Baik dalam hal jiwa, anggota badan maupun luka.
[33]
Allah mengutus Nabi Isa 'alaihis salam membenarkan kitab yang
diturunkan sebelumnya, yaitu Taurat, oleh karena itu dia menjadi saksi
terhadap kebenaran Nabi Musa dan Taurat yang dibawanya, menguatkan
dakwahnya, menggunakan syari'atnya dan sesuai dengan syari'at Nabi Musa
'alaihis salam dalam banyak hal, hanya saja syari'at Nabi Isa 'alaihis
salam lebih ringan dalam sebagian hukum, di mana Beliau (Nabi Isa)
menghalalkan untuk Bani Israil sebagian yang diharamkan.
[34] Sebagai kitab yang menyempurnakan Taurat.
[35] Yang menerangkan mana yang benar dan mana yang salah.
[36]
Pengikut-pengikut Injil itu diwajibkan memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah di dalam Injil itu, sampai pada masa diturunkan Al
Quran.
[37]
Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa menjadi kafir apabila
ia menghina hukum Allah, menganggap halal berhukum dengan hukum selain
Allah, menganggap bahwa hukum selain Allah lebih baik atau lebih cocok
dipakai seperti orang-orang yang membuat undang-undang yang menyalahi
syari’at Islam, di mana mereka tidaklah membuat undang-undang tersebut
kecuali karena adanya anggapan bahwa hukum Allah tidak cocok lagi atau
kurang tepat dsb.
Orang yang tidak berhukum
dengan hukum Allah bisa juga menjadi zalim (tidak kafir) apabila ia
melakukan hal itu, namun ia yakin bahwa hukum Allah-lah yang benar, yang
baik, yang cocok, hukum yang dipakainya yang salah, ia juga tidak
meremehkannya.
Dan bisa menjadi fasik (tidak
kafir), apabila ia melakukan hal itu (yakni tidak menggunakan hukum
Allah) karena ada rasa sayang kepada orang yang terkena hukuman itu atau
karena diberi sogokan (risywah) namun ia tetap yakin bahwa hukum
Allah-lah yang benar dan hukumnya yang salah, seperti karena si pencuri
itu adalah kerabatnya dsb.
Sumber dan referensi :
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon