Setelah kita mempelajari dan memahami tafsir atau kandungan ayat-ayat sebelumnya dari surat ini , Sekarang saatnya kita mempelajari kandungan atau tafsir dari ayat-ayat berikut ini
Ayat 92-93: Hukum pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja dan yang sengaja
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ
لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ
قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى
أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا (٩٢) وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (٩٣
Terjemah Surat An Nisa Ayat 92-93
92. Dan tidak patut[1] bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[2]. Barang siapa membunuh[3] seorang yang beriman[4] karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman[5] serta membayar diat[6] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)[7], kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[8]. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu[9], padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman[10]. Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu[11], maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)[12] serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya[13], maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut[14] sebagai tobat kepada Allah[15]. Dan Allah Maha Mengetahui[16] lagi Maha Bijaksana[17].
93. Dan barang siapa yang membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya[18]. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.[19]
Ayat
94: Tujuan berperang dalam Islam adalah untuk mewujudkan keamanan
masyarakat muslim, membela ‘aqidah dan mencegah orang-orang zalim
melakukan kezaliman, serta perintah agar teliti mengambil suatu tindakan
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ
مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ
مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(٩٤
Terjemah Surat An Nisa Ayat 94
94. [20]
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu,[21] "Kamu bukan seorang yang beriman" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia[22], padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu[23], lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah[24]. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan[25].
Ayat 95-96: Derajat kaum mukmin dan kedudukan para mujahid fii sabilillah
لا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ
وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى
الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (٩٥)
دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (٩٦
Terjemah Surat An Nisa Ayat 95-96
95.[26] [27]
Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut
berperang) tanpa mempunyai 'uzur (halangan) dengan orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwanya[28]. Allah melebihkan derajat[29] orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang)[30].
Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk[31] dengan pahala yang besar,
96. (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya[32], serta ampunan dan rahmat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1]
Yakni tidak mungkin atau mustahil seorang mukmin membunuh saudaranya
secara sengaja. Dalam ayat ini terdapat dalil besarnya keharaman
membunuh seorang mukmin dan bahwa hal itu bertentangan sekali dengan
keimanan, bahkan hal itu tidaklah muncul kecuali dari orang kafir atau
orang fasik yang imannya begitu kurang. Yang demikian karena iman yang
sesungguhnya mencegah seorang mukmin membunuh saudaranya, di mana Allah
telah mengikat antara dia dengan saudaranya dengan persaudaraan iman,
yang konsekwensinya adalah saling mencintai dan memberikan wala' serta
menghindarkan sesuatu yang dapat menyakiti saudaranya. Lantas sesuatu
apakah yang lebih menyakiti saudaranya daripada membunuh?. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
« لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِى كُفَّاراً ، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ »
"Janganlah kamu kembali kufur setelahku, yakni satu sama lain saling membunuh." (HR. Bukhari)
Dari
sini diketahui, bahwa membunuh merupakan kufur amali (kufur yang bukan
terkait dengan keyakinan dan tidak mengeluarkan dari Islam) dan dosa
yang amat besar setelah syirk.
[2]
Seperti menembak burung, namun terkena seorang mukmin. Dalam hal ini,
orang tersebut tidaklah berdosa, akan tetapi karena ia telah melakukan
perbuatan buruk, di mana gambaran dari perbuatan itu sudah cukup
menunjukkan keburukannya meskipun ia tidak bermaksud membunuh, maka
Allah memerintahkannya untuk membayar diyat dan kaffarat.
[3]
Baik yang membunuh laki-laki maupun wanita, merdeka atau budak, anak
kecil atau orang dewasa, muslim atau kafir. Hal ini berdasarkan lafaz
"man" yang menunjukkan keumuman.
[4] Baik yang terbunuh laki-laki atau wanita, anak kecil atau orang dewasa.
[5]
Dengan hartanya. Hamba sahaya yang dimerdekakannya ini mencakup
anak-anak atau orang dewasa, laki-laki atau perempuan, yang sehat atau
yang bercacat (menurut pendapat sebagian ulama). Namun yang tepat adalah
tidak bisa memerdekakan budak yang bercacat, karena tujuan memerdekakan
budak adalah bermanfaat merdeka itu bagi dirinya dan ia memiliki hak
terhadap manfaat dari dirinya. Apabila budak yang bercacat dimerdekakan,
maka tidak bermanfaat apa-apa, dan bahkan jika tetap sebagai budak
lebih bermanfaat baginya, maka tidak sah budak yang cacat tersebut
dimerdekakan. Hal ini ditunjukkan pula oleh kata-kata "Fa tahriiru
raqabah" (memerdekakan seorang hamba sahaya), di mana memerdekakan
tersebut berarti membebaskan manfaat yang sebelumnya untuk orang lain
menjadi untuk dirinya sendiri.
[6]
Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena suatu tindak pidana
terhadap suatu jiwa atau anggota badan. Diyatnya menurut As Sunnah
adalah seratus ekor unta dengan rincian; 20 bintu makhaadh, 20 bintu
labun, 20 ibnu labun, 20 hiqqah dan 20 jadza'ah.
Bintu makhaadh adalah unta betina yang berumur satu tahun dan masuk tahun kedua. Bintu labun adalah unta betina yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga. Ibnu Labun adalah unta jantan yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga. Hiqqah adalah unta betina yang berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat. Jadza'ah adalah unta betina yang berumur empat tahun dan masuk tahun kelima]
Diyat
ini (yakni dalam pembunuhan tanpa sengaja dan syibhul 'amdi/mirip
sengaja) ditanggung oleh keluarga pembunuh, yakni para 'ashabahnya, baik
yang ushul (bapak dst. ke atas) maupun yang furu' (anak dst. ke bawah),
karena si pembunuh tidak bersalah, sehingga cukup memberatkan jika
sampai ia yang menanggung beban berat ini. Beban diyat tersebut dibagi
antara mereka (keluarga pembunuh) selama tiga tahun, dan hakim
berijtihad dalam memberikan beban kepada masing-masing mereka
semampunya, misalnya yang kaya di antara keluarganya dibebani 1/2 dinar,
yang keadaan ekonominya pertengahan dibebani 1/4 dinar dsb. Jika mereka
tidak mampu membayar, maka dibayarkan dari Baitul maal, dan jika
kesulitan dibayarkan dari baitul maal, maka dari harta pembunuh (yang
tidak sengaja) itu.
[7] Yakni ahli warisnya.
[8]
Bersedekah di sini maksudnya membebaskan si pembunuh dari pembayaran
diat. Dalam ayat ini terdapat anjuran memaafkan, karena Allah menamainya
sedekah, sedangkan sedekah itu diperintahkan.
[9] Yakni dari kalangan kaum kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin).
[10]
Yakni pembunuhnya cukup membayar kaffarat saja, yaitu dengan
memerdekakan seorang budak yang beriman, dan tidak ada diyat yang
diserahkan kepada keluarganya karena permusuhan dan peperangan yang
mereka lancarkan kepada kaum muslimin.
[11]
Seperti kaum dzimmiy (orang-orang kafir yang tinggal di bawah
pemerintahan Islam dengan membayar pajak) agar diri dan harta mereka
terlindungi.
[12] Yaitu 1/3 dari diyat orang mukmin, jika si terbunuh orang Yahudi atau Nasrani, dan 2/30 jika si terbunuh orang Majusi.
[13]
Maksudnya tidak mempunyai hamba atau tidak memperoleh hamba sahaya yang
beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut
sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai
ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.
[14]
Tidak berbuka di salah satu hari dari dua bulan itu tanpa udzur
(alasan). Namun jika ia berbuka karena 'udzur, maka udzur tersebut tidak
memutuskan "berturut-turut" tersebut, seperti sakit, haidh dsb. Tetapi,
jika dia berbuka tanpa udzur, maka terputuslah "berturut-turut"
tersebut dan puasanya wajib dimulai dari awal.
[15]
Kaffarat yang Allah wajibkan tersebut merupakan tobat dari Allah untuk
hamba-hamba-Nya, sebagai rahmat-Nya kepada mereka dan menghapuskan apa
saja yang mereka lakukan berupa sikap remeh dan kurang hati-hati.
[16] Tentang keadaan makhluk-Nya.
[17]
Dalam aturan yang ditetapkan-Nya. Di antara kebijaksanaan-Nya adalah
apa Yang Dia wajibkan kepada pembunuh, yaitu melakukan kaffarat yang
memang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, karena ia menjadi sebab
hilangnya jiwa yang terpelihara, maka sangat sesuai jika kaffaratnya
adalah membebaskan seorang budak dan melepaskannya dari ikatan
perbudakan kepada makhluk menjadi bebas dan merdeka. Jika ia tidak
mendapatkan budak, maka dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut,
di mana dia melepaskan dirinya dari perbudakan kepada syahwat dan
kelezatan yang sesungguhnya memutuskan kebahagiaannya yang abadi,
beralih menuju beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga menetapkan
waktu yang lama dan mewajibkan secara berturut-turut, serta tidak
mensyari'atkan memberi orang miskin sebagai gantinya karena tidak
sesuai. Termasuk kebijaksanaan-Nya pula adalah mewajibkan diyat dalam
pembunuhan, meskipun tidak sengaja agar menjadi penghalang utama
terhadap banyaknya pembunuhan dengan menggunakan sebab-sebab yang dapat
menjaganya dari pembunuhan itu. Demikian juga termasuk
kebijakasanaan-Nya adalah Dia menutupi rasa sedih yang menimpa keluarga
korban dengan diyat yang Allah wajibkan diberikan kepada wali-wali
korban.
[18]
Ada yang menafsirkan, bahwa dia akan kekal di neraka apabila menganggap
halal yang demikian. Ibnul Qayyim setelah menyebutkan pendapat para
imam tentang ayat tersebut berkata dalam Madaarijus Salikin:
Sebagian
lagi berpendapat, nash-nash ini dan semisalnya yang disebutkan di sana
hal yang menghendaki untuk diberikan hukuman, namun tidak mesti adanya
hal yang menghendaki untuk dihukumi harus ada pula hukuman itu. Hal itu,
karena hukum hanyalah sempurna dengan adanya konsekwensinya dan
hilangnya penghalang. Tujuan nash-nash ini adalah untuk memberitahukan
bahwa perbuatan ini menjadi sebab untuk memperoleh hukuman dan yang
mengharuskannya, namun telah ada dalil yang menyebutkan mawaani'
(penghalang); sebagiannya berdasarkan ijma' dan sebagian lagi
berdasarkan nash. Tauhid menjadi penghalang (kekal di neraka)
berdasarkan nash-nash mutawatir yang tidak dapat ditolak,
kebaikan-kebaikan yang besar dapat menghapuskan dosa sekaligus sebagai
penghalang, musibah-musibah besar yang menghapuskan dosa juga sama
menjadi penghalang, ditegakkannya hudud di dunia juga sama sebagai
penghalang berdasarkan nash, dan tidak ada jalan untuk meniadakan
nash-nash tersebut, sehingga nash-nash tersebut harus diberlakukan dari
dua sisi. Dari sinilah tegak penimbangan antara kebaikan dan keburukan
karena memperhatikan sesuatu yang menghendaki adanya hukuman dan
memperhatikan pula penghalangnya, dan memberlakukan yang lebih kuatnya.
Mereka mengatakan, "Atas dasar ini dibangun maslahat di dunia dan
akhirat serta mafsadat keduanya. Atas dasar ini pula dibangun
hukum-hukum syar'i dan hukum-hukum qadari (ketentuan Allah di alam
semesta). Yang demikian merupakan konsekwensi yang diinginkan dari
hikmah yang berjalan di alam semesta, dengannya pula dikaitkan antara
sebab dengan musabbab, mencipta dan memerintah, Allah Subhaanahu wa
Ta'aala juga telah mengadakan untuk segala sesuatu lawannya yang menolak
dan mendorongnya, dan hukum diputuskan berdasarkan hal yang lebih kuat
daripadanya. Kekuatan menghendaki untuk sehat wal 'afiyat, rusaknya
campuran dan tindak melampaui batas menghalanginya dari mengerjakan
perbuatan secara tabi'at serta menghalanginya mewujudkan kekuatan, dan
hukum ditetapkan untuk yang lebih kuat di antara keduanya, demikian juga
halnya kuatnya obat dan penyakit (dalam diri seseorang). Pada seorang
hamba terdapat hal yang menghendaki untuk sehat dan sakit,
masing-masingnya menghalangi yang lain untuk menyempurnakan pengaruhnya
dan melawannya, jika ada yang lebih kuat atau yang satu yang kalah, maka
yang menang lebih besar pengaruhnya. Dari sini diketahui, bahwa manusia
terbagi menjadi beberapa golongan; ada yang masuk ke surga dan tidak
masuk neraka, dan ada pula sebaliknya, ada pula yang masuk neraka
kemudian dikeluarkan daripadanya, sehingga tinggalnya di neraka sesuai
konsekwensi untuk tinggal cepat atau lambat. Siapa saja yang memiliki
pandangan yang bersinar, ia dapat melihat semua yang Allah beritakan
dalam kitab-Nya seperti tentang perkara akhirat dan perinciannya, maka
seakan-akan ia menyaksikannya langsung. Dari sini diketahui pula bahwa
hal itu merupakan konsekwensi ketuhanan-Nya, pengaturan-Nya terhadap
alam semesta, keperkasaan-Nya dan kebijaksanaan-Nya dan mustahil berbeda
dengan hal itu, apalagi sampai menisbatkan kepada-Nya sesuatu yang
tidak layak menisbatkan kepada-Nya, oleh karena itu nisbatnya kembali
kepada pandangannya sebagaimana menisbatkan matahari dan bintang dalam
pandangannya. Inilah yang yakin dari keimanan, ini pula yang membakar
keburukan, sebagaimana api membakar kayu, pemilik keimanan dalam posisi
ini mustahil tetap di atas keburukan, meskipun pernah terjadi atau
bahkan banyak, karena cahaya iman yang ada padanya memerintahkan untuk
memperbarui tobat di setiap waktu dengan kembali kepada Allah di setiap
hembusan nafasnya, dan inilah makhluk yang paling dicintai Allah."
[19]
Dalam surat Al Baqarah ayat 178 sudah diterangkan, bahwa pembunuh
secara sengaja dibunuh juga (diqishas), dan jika memperoleh maaf, ia
hendaknya membayar diyat. Dalam As Sunnah disebutkan, bahwa antara
pembunuhan secara sengaja dan tidak sengaja ada pula pembunuhan syibhul
'amdi (mirip sengaja), misalnya memukul orang lain di bagian yang tidak
membunuh, memukul dengan cemeti, tongkat kecil, atau meninju bagian yang
biasanya tidak membuatnya terbunuh, lalu ia meninggal, maka dalam hal
ini tidak ada qishas, namun ada diyat dan kaffarat.
[20] Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat, "Wa laa taquuluu liman alqaa ilaikumus salaam lasta mu'minaa." Ia berkata., "Pernah ada seseorang yang sedang membawa kambingnya lalu ditemui oleh kaum muslimin, orang itu berkata, "As Salaamu 'alaikum." Namun mereka malah membunuhnya dan mengambil kambingnya, maka Allah menurunkan ayat tentang hal itu sampai,"Mencari harta benda kehidupan dunia." Yakni kambing tersebut.
[21] Yakni ucapan "As Salaamu 'alaikum" atau mengucapkan "Laa ilaaha illallah."
[22] Yakni ghanimah (harta rampasan perang).
[23]
Yakni sebagaimana Dia menunjuki kamu yang sebelumnya tersesat, Dia
menunjuki pula orang yang lain. Demikian juga karena hidayah itu kamu
peroleh sedikit demi sedikit, maka orang lain pun sama memperolehnya
sedikit demi sedikit. Dengan melihatnya orang yang sempurna terhadap
keadaannya yang kurang dahulu, lalu ia menyikapi orang lain dengan
memperhatikan hal itu kemudian mengajak orang lain dengan hikmah dan
nasehat yang baik merupakan sebab terbesar yang dapat memberinya manfaat
dan orang lain pun dapat mengambil manfaat itu.
[24]
Jika orang yang keluar berjihad fii sabilillah untuk memerangi musuh
Allah diperintahkan untuk meneliti lebih dahulu terhadap orang yang
menyampaikan salam, sedangkan qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa ia
mengucapkan salam hanyalah untuk menjaga diri agar tidak dibunuh begitu
kuat, maka dalam keadaan lain yang di sana terdapat kesamaran juga
diperintahkan untuk meneliti lebih dulu sampai perkaranya jelas dan
diketahui yang benar dan yang salah.
[25] Dia akan memberikan balasan terhadap amal dan niat seseorang mengikuti pengetahuan-Nya terhadap keadaan hamba dan niat mereka.
[26] Imam Bukhari meriwayatkan dari Barra' bin 'Azib, ia berkata: Ketika turun ayat, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang)…dst."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Zaid, lalu ia datang
dengan membawa tulang, kemudian Beliau menuliskan di atasnya, dan Ibnu
Ummi Maktum mengeluhkan buta yang menimpanya, maka turunlah ayat, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang)…dst."
Imam
Bukhari juga meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad As Saa'idiy ia berkata:
Saya pernah melihat Marwan bin Hakam duduk di masjid, lalu saya datang
dan duduk di sampingnya, kemudian ia memberitahukan kami bahwa Zaid bin
Tsabit memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mendiktekan kepadanya, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang)…dst."
ia melanjutkan kata-katanya, "Lalu datanglah Ibnu Ummi Maktum, ia yang
mendiktekan ayat tersebut kepada saya. Ia (Ibnu Ummi Maktum) berkata,
"Wahai Rasulullah, jika sekiranya saya sanggup berjihad tentu saya akan
berjihad -ia adalah seorang yang buta- , maka Allah Tabaaraka wa Ta'aala
menurunkan ayat kepada Rasul-Nya, sedangkan ketika itu pahanya di atas
pahaku sehingga aku merasakan keberatan sampai saya khawatir paha saya
akan patah hingga kemudian lepas." Ketika itu, Allah Azza wa Jalla
menurunkan ayat, "ghairu ulidh dharar (lih. ayat di atas)."
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai 'uzur (halangan)…dst."
bahwa ia turun berkenaan dengan perang Badar dan orang-orang yang
keluar ke Badar. Ketika terjadi perang Badar, Abdullah bin Jahsy dan
Ibnu Ummi Maktum berkata, "Sesungguhnya kami dua orang yang buta wahai
Rasulullah, adakah rukhshah bagi kami?" Maka turunlah ayat, "Tidaklah
sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa
mempunyai 'uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak
ikut berperang)…dst." Mereka yang duduk tanpa ada uzur dikalahkan
oleh oleh orang-orang yang berjihad, Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad di atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar."
(Hadits ini hasan gharib dari jalan ini dari hadits Ibnu Abbas,
sedangkan Muqsim (salah satu perawi) ada yang mengatakan sebagai Maula
Abdullah bin Abbas, dan Muqsim dipanggil Abul Qasim, dan Abdullah bin
Jahsy bukanlah seorang yang buta. Al Haafizh menguatkan dalam Al Fat-h
bahwa yang benar adalah Abu Ahmad bin Jahsy sebagaimana dalam riwayat
Thabari dari Al Hajjaj (9/92). Thabrani juga meriwayatkan, Al Haitsami
juz 9 hal. 9 berkata, "Para perawinya adalah tsiqah dari hadits Zaid bin
Arqam yang sama seperti hadits itu.")
[27]
Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk keluar berjihad dan tarhib
(pencitraan buruk) terhadap sikap malas atau enggan berjihad tanpa
udzur. Berbeda dengan orang-orang yang sedang menderita, seperti sakit,
buta, pincang dan orang yang tidak memperoleh perlengkapan perang, maka
mereka tidak dikatakan sebagai orang yang duduk diam tidak berjihad.
Namun, jika di antara orang-orang yang menderita itu ridha dengan
duduknya tidak berjihad, tidak ada niat untuk keluar berjihad fii
sabilillah jika tidak ada udzur, atau bahkan tidak ada rasa ingin
berjihad, maka ia tergolong orang yang duduk tidak berjihad. Tetapi,
orang yang berniat keras untuk keluar berjihad fii sabilillah jika
udzurnya hilang dan ia berharap sekali untuk berjihad, maka ia menduduki
posisi orang yang berjihad karena niatnya yang sesungguhnya.
[28]
Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan kedudukan para mujahid secara
berpindah-pindah, dari yang rendah kepada yang tinggi, lebih tinggi dst.
Di awal, Allah menafikan adanya kesamaan antara orang-orang yang
berjihad dengan yang tidak berjihad, selanjutnya Allah menegaskan
kedudukan mujahid di atas orang yang duduk tidak berjihad dan
selanjutnya Allah menjanjikan akan memberikan ampunan, rahmat dan
beberapa derajat. Penyebutan secara berpindah-pindah dari bawah ke atas
dst. merupakan pengutamaan dan pujian, sedangkan penyebutan dari bawah
dst. ke bawah merupakan perendahan dan pencelaan. Yang demikian adalah
lafaz yang paling indah dan lebih masuk ke hati. Demikian juga ketika
Allah Subhaanahu wa Ta'aala melebihkan sesuatu di atas sesuatu, namun
masing-masingnya mendapatkan karunianya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menyebutkan ihtiraz (penjagaan) agar tidak ada sangkaan keliru, seperti
sangkaan tercelanya orang yang kalah keutamaannya tersebut, oleh
karenanya Allah berfirman, "Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)".
[29]
Dalam ayat ini disebutkan tingginya kedudukan mujahidin secara ijmal
(garis besar), dan pada ayat selanjutnya disebutkan secara tafsil
(rinci), seperti dijanjikan akan mendapatkan ampunan, rahmat yang tidak
lain merupakan keberhasilan mendapat semua kebaikan dan terhindar dari
semua keburukan. Dalam hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menerangkan lebih rinci derajat mujahidin, yakni bahwa di surga ada 100
derajat, di mana antara derajat yang satu dengan yang lain seperti jarak
antara langit dengan bumi, Allah menyiapkan derajat itu untuk
orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.
[30] Maksudnya yang tidak berperang karena uzur.
[31]
Maksudnya yang tidak berperang tanpa alasan. Sebagian ahli tafsir
mengartikan qaa'idiin di sini sama seperti sebelumnya, yaitu yang tidak
berperang karena uzur, wallahu a'lam.
[32] Yakni dengan beberapa kedudukan, di mana yang satu berada di atas yang lain.
Sumber dan referensi :
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon