Setelah kita mempelajari dan memahami tafsir atau kandungan ayat-ayat sebelumnya dari surat ini , Sekarang saatnya kita mempelajari kandungan atau tafsir dari ayat-ayat berikut ini
Ayat 80-84: Menerangkan penekanan untuk menaati
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menerangkan cacat kaum munafik
dan kemunafikan mereka, serta menerangkan kewajiban berperang dan beberapa adab-adabnya
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (٨٠) وَيَقُولُونَ طَاعَةٌ فَإِذَا
بَرَزُوا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ
وَاللَّهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُونَ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا (٨١) أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلافًا كَثِيرًا (٨٢) وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ
الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي
الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ
الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣) فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا
تُكَلَّفُ إِلا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ
يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ
تَنْكِيلا (٨٤
Terjemah Surat An Nisa Ayat 80-84
80. Barang siapa yang menaati[1] Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah[2].
Dan Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah)
Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka[3].
81. Dan mereka mengatakan, "(Kami siap) taat[4]." Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu (Muhammad)[5], sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi[6]. Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu[7], maka berpalinglah dari mereka[8] dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi Pelindung.
82. Maka tidakkah mereka menghayati(merenungi) Al Quran?[9] Sekiranya Al Quran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.
83.[10] [11] Dan apabila sampai kepada mereka[12] suatu berita[13] tentang keamanan[14] ataupun ketakutan[15], mereka langsung menyiarkannya[16]. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[17]
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu[18], tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)[19].
84.[20] Maka berperanglah kamu di jalan Allah, kamu tidaklah dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[21]. Kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang)[22]. Mudah-mudahan Allah menolak (mematahkan) serangan orang-orang yang kafir itu[23]. Allah sangat besar kekuatan(-Nya) dan sangat keras siksaan(-Nya)[24].
Ayat 85-86: Menerangkan hukum tentang syafaat dalam hal yang baik dan yang buruk, dan hukum salam
مَنْ
يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ
شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا (٨٥) وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
حَسِيبًا (٨٦
Terjemah Surat An Nisa Ayat 85-86
85. Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik[25], niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barang siapa memberi syafa'at yang buruk[26], niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[27].
86. Apabila kamu diberi penghormatan[28] dengan suatu (salam) penghormatan[29], maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik[30], atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[31]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu[32].
[1]
Ketaatan tersebut harus dilakukan oleh zhahir maupun batin, di hadapan
manusia maupun ketika sembunyi. Adapun orang yang menampakkan ketaatan
di hadapan manusia, namun ketika sendiri atau bersama kawan-kawan yang
sepertinya, ia tidak taat dan mengerjakan hal yang sebaliknya, maka
sesungguhnya ketaatan yang ditampakkan itu tidaklah bermanfaat dan
tidaklah berfaedah, mereka ini sama seperti orang-orang yang disebutkan
dalam ayat 81 selanjutnya.
[2]
Hal itu, karena Beliau tidaklah memerintah dan melarang kecuali dengan
perintah Allah dan wahyu-Nya. Dalam ayat ini terdapat dalil kema'shuman
Beliau (terjaganya dari kesalahan), karena Allah memerintahkan kita
menaati Beliau secara mutlak. Jika Beliau tidak ma'shum dalam semua yang
disampaikan dari Allah, tentu kita tidak diperintahkan menaatinya
secara mutlak.
[3]
Kamu (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak bertanggung jawab
terhadap perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat
kesalahan. Kamu hanyalah pemberi peringatan dan kepada Allah-lah urusan
mereka. Oleh karena itu, janganlah kamu dibuat risau, baik mereka
mendapatkan petunjuk atau pun tidak.
[4] Yakni ketika berada di hadapanmu.
[5] Dan berada dalam keadaan yang tidak diketahui oleh orang lain.
[6] Beralih dari ketaatan kepada maksiat.
[7] Dan akan memberikan balasan kepada mereka. Di ayat ini terdapat ancaman terhadap mereka.
[8]
Yakni biarkanlah mereka dan bertawakkallah kepada Allah, karena mereka
tidak dapat menimpakan bahaya apa-apa ketika kamu bertawakkal kepada
Allah.
[9]
Sesungguhnya mentadabburi kitab Allah merupakan kunci bagi semua ilmu,
dengannya diperoleh semua kebaikan dan daripadanya digali berbagai macam
ilmu, dan dengannya bertambah keimanan di hati. Semakin bertambahnya
tadabbur seseorang terhadap Al Qur'an, maka semakin bertambah pula ilmu,
amal dan bashirah (ketajaman pandangan)nya. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan kita mentadabburi firman-Nya dan memberitahukan bahwa
untuk itulah Al Qur'an diturunkan, Allah berfirman, "Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran." (Terj. Shaad: 29).
Di
antara faedah mentadabburi kitab Allah adalah seseorang dapat mencapai
derajat yakin, mengetahui bahwa kitab tersebut adalah firman Allah,
karena ayat yang satu dengan yang lain bersesuaian dan saling
membenarkan. Kita dapat melihat tentang hukum, kisah dan berita yang
diulang di beberapa tempat dalam Al Qur'an, semuanya sesuai dan saling
membenarkan; tidak saling membatalkan. Dengan ini dapat diketahui
kesempurnaan Al Qur'an dan bahwa ia berasal dari Allah Yang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu.
[10]
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Umar bin Khaththab, ia
berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjauhi
istri-istrinya, aku pun masuk ke masjid ternyata orang-orang sedang
melempari kerikil dan berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah mentalak istri-istrinya." Hal itu terjadi ketika mereka belum
diperintahkan berhijab. Umar berkata, "Saya akan beritahukan hal itu
hari ini." Maka saya menemui Aisyah dan berkata, "Wahai puteri Abu
Bakar, apakah engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam?" Aisyah menjawab, "Apa urusanmu terhadapku wahai Ibnul
Khaththab, urusilah aibmu sendiri." Umar berkata, "Maka saya menemui
Hafshah binti Umar dan berkata kepadanya, "Wahai Hafshah! Apakah
engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi
Allah, sesungguhnya saya tahu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak menyukaimu. Kalau bukan karena saya, tentu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mentalakmu." Hafshah pun
menangis dengan tangisan yang begitu serius. Saya pun bertanya
kepadanya, "Di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?" Ia
menjawab, "Dia sedang berada di dekat lemarinya di kamar." Saya pun
masuk, ternyata saya menemui Ribah pelayan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam sedang duduk di palang (kayu bawah) pintu kamar sambil
memanjangkan kakinya di atas kayu berlubang, yaitu batang pohon kurma
yang dipakai tangga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
naik dan turun. Ribah melihat ke kamar, lalu melihatku dan tidak berkata
apa-apa, kemudian saya keraskan suara sambil berkata, "Wahai Ribah,
izinkan saya di bersamamu untuk menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, karena saya mengira bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mengira bahwa saya datang karena Hafshah. Demi Allah, jika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku memenggal
lehernya, tentu saya penggal lehernya." Saya keraskan suara saya. Ia
pun berisyarat kepadaku agar masuk kepadanya, maka saya masuk menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata Beliau sedang
berbaring di atas tikar, saya pun duduk, lalu Beliau mendekatkan kainnya
dan Beliau tidak mengenakan apa-apa selain itu. Ketika itu, tikarnya
membekas pada rusuk Beliau. Saya melihat dengan mata saya lemari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata di sana terdapat
segenggam gandum seukuran satu shaa' (4 mud/kaupan), demikian juga daun
salam di pojok kamar serta ada kulit yang digantungkan. Saya pun
meneteskan air mata, lalu Beliau bertanya, "Apa yang membuatmu menangis,
wahai Ibnul Khaththab?" Aku menjawab, "Wahai Nabi Allah, mengapa saya
tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas pada rusukmu. Sedangkan
lemarimu tidak menyimpan apa-apa selain yang saya lihat. Berbeda dengan
Kaisar dan Kisra yang memperoleh banyak buah dan berada di dekat sungai
yang mengalir. Sedangkan engkau utusan Allah dan pilihan-Nya dengan
keadaan lemari seperti ini." Beliau bersabda, "Wahai Ibnul Khaththab,
tidakkah kamu ridha, untuk kita akhirat dan untuk mereka dunia?" Saya
menjawab, "Ya." Ketika saya masuk menemuinya, saya melihat tampak marah
di mukanya, maka saya berkata, "Wahai Rasulullah, para istri tidak
akan menyusahkan dirimu. Jika engkau mentalak mereka, maka sesungguhnya
Allah bersamamu, demikian pula, malaikat-Nya, Jibril, Mikail, saya, Abu
Bakar, dan kaum mukmin bersamamu. " Saya tidaklah berbicara –wal
hamdulillah- kecuali saya berharap agar dibenarkan oleh Allah. Ketika
itu turunlah ayat takhyir (pemberian pilihan),
"Jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua
telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua
bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik;
dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. ---Jika
Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh,...dst."(Terj. At Tahrim: 4-5)
Ketika
itu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah saling bantu-membantu
menyusahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap istri-istri yang
lain. Saya pun berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mentalak
mereka?" Beliau menjawab, "Tidak." Saya berkata, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya masuk ke masjid sedangkan kaum muslimin sedang
melempari kerikil sambil berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mentalak istri-istrinya."
Bolehkah saya turun agar saya memberitahukan mereka bahwa Engkau tidak
mentalak mereka?" Beliau menjawab, "Ya, jika engkau mau." Saya
senantiasa berbicara dengan Beliau sampai hilang marah dari mukanya dan
sampai Beliau memperlihatkan giginya dan tersenyum, dan Beliau adalah
orang yang paling bagus giginya. Nabi Allah pun turun dan aku turun
bersandar dengan batang tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam turun tampak seperti berjalan di tanah, di mana Beliau tidak
menyentuhnya (batang tersebut) dengan tangannya, lalu saya berkata,
"Wahai Rasulullah, Engkau berada di kamar hanya 29 hari?" Beliau
bersabda, "Sesungguhnya sebulan itu 29 hari." Saya pun berdiri di pintu
masjid dan menyeru dengan suara keras, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam tidak mentalak istri-istrinya." Ketika itu turunlah ayat, "Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan ulil Amri)…dst." Sayalah yang mengetahui perkara itu, dan Allah menurunkan ayat takhyir (pilihan).
[11]
Ayat ini merupakan pengajaran adab dari Allah kepada hamba-hamba-Nya
terhadap perbuatan yang tidak patut mereka lakukan, dan sepatutnya bagi
mereka ketika sampai masalah-masalah penting yang terkait dengan masalah
umum, seperti terkait dengan keamanan, kegembiraan dan kekhawatiran
yang di sana terdapat musibah bagi mereka untuk menahan diri dengan
tidak segera menyampaikan berita itu, bahkan menyampaikan terlebih dulu
kepada rasul dan ulil amri (para ulama dari kalangan sahabat atau orang
yang memiliki pandangan tepat), di mana mereka mengetahui hal yang lebih
bermaslahat. Mereka (rasul dan ulil amri) nanti akan memperhatikan
berita itu, apakah jika disebarluaskan ada maslahatnya dan dapat
menyemangatkan kaum muslimin serta menggembirakan mereka ataukah tidak
ada maslahatnya, atau ada maslahatnya namun madharatnya lebih besar
daripada maslahatnya, sehingga berita itu tidak disebarluaskan.
[12] Kaum munafik atau orang-orang yang lemah iman.
[13] Seperti berita tentang sariyyah (pasukan kecil) yang dikirim Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
[14] Yakni kemenangan.
[15] Yakni kekalahan.
[16] Sehingga membuat lemah hati kaum mukmin dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri merasa tersakiti.
[17]
Yakni kepada Rasul dan tokoh-tokoh sahabat atau ulama di antara mereka.
Dalam ayat ini terdapat dalil terhadap kaidah adab, yaitu apabila
diperlukan pembahasan tentang suatu masalah, maka sepatutnya masalah
tersebut diserahkan kepada ahlinya, tidak disodorkan kepada yang lain,
hal itu karena yang demikian lebih dekat kepada kebenaran dan lebih
selamat dari kesalahan. Demikian pula menunjukkan dilarangnya bersikap
tergesa-gesa menyebarkan apa yang didengarnya dan perintah untuk
memperhatikan perkara itu, apakah ada maslahatnya sehingga ia pun perlu
maju atau tidak, sehingga perlu ditahan.
[18] Yakni taufiq, pengajaran adab dan ilmu yang diajarkan-Nya kepada kamu yang sebelumnya tidak kamu ketahui.
[19]
Karena manusia pada tabi'atnya zalim dan jahil (bodoh), hawa nafsunya
biasa menyuruh kepada keburukan. Namun apabila seseorang kembali kepada
Tuhannya dan bersandar kepada-Nya, maka Allah akan berbuat lembut
kepadanya, memberinya taufiq kepada semua kebaikan dan melindunginya
dari godaan setan yang terkutuk.
[20]
Keadaan ini merupakan keadaan hamba yang paling utama, yakni seorang
hamba mengusahakan dirinya untuk menjalankan perintah Allah, baik jihad
maupun lainnya, serta mendorong yang lain untuk melakukannya. Namun
terkadang seorang hamba ada yang tidak melakukan kedua-duanya atau hanya
salah satunya.
[21]
Yakni kamu tidak berkuasa apa-apa terhadap selain dirimu dan kamu tidak
dibebani terhadap perbuatan selain kamu. Ayat ini berhubungan dengan
keengganan sebagian besar kaum muslimin Madinah untuk ikut berperang
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke Badar Shughra. Maka
turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam tetap berangkat meskipun sendiri saja dan tidak perlu memikirkan
mereka. Allah pun menolak serangan orang-orang yang kafir dengan menaruh
rasa takut di hati mereka dan Abu Sufyan sendiri enggan untuk keluar
(kisah lebih luasnya sudah disebutkan dahulu dalam tafsir surat Ali
Imran).
[22]
Hal ini mencakup segala sesuatu yang dapat menyemangatkan kaum mukmin
dan menguatkan hati mereka, seperti meneguhkan pendirian mereka dengan
kata-kata dan nasehat, memberitahukan lemahnya musuh, menyampaikan janji
Allah berupa pahala kepada para mujahid, akibat yang didapatkan bagi
orang-orang yang tidak berperang, dsb. ini semua termasuk ke dalam
menyemangatkan kaum muslimin untuk berperang.
[23] Dengan jihad fi sabilillah yang kalian lakukan dan penyemangatan satu dengan yang lain.
[24]
Jika Allah Ta'ala menghendaki, tentu Dia akan mengalahkan orang-orang
kafir dengan kekuatan-Nya dan tidak menyisakan mereka. Akan tetapi,
karena hikmah (kebijaksanaan) Allah, Dia menguji sebagian hamba-Nya
dengan yang lain agar tergak jihad fii sabilillah dan tercapai iman yang
bermanfaat; yaitu iman atas dasar pilihan, bukan karena terpaksa yang
tidak ada manfaatnya.
[25]
Syafa'at (pertolongan) yang baik adalah setiap syafa'at yang ditujukan
untuk melindungi hak seorang Muslim atau menghindarkannya dari suatu
kemadharatan. Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik kepada
orang lain, misalnya membantunya agar dapat menjalankan kebaikan, maka
ia akan memperoleh bagian pahalanya sesuai amalnya, bantuan yang
diberikan dan manfaatnya, tanpa dikurangi sedikit pun. Sebaliknya,
barang siapa yang membantu orang lain agar dapat melakukan keburukan,
maka dia menanggung dosa sesuai bantuan yang diberikannya. Dalam ayat
ini terdapat dorongan untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan
ketakwaan dan larangan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.
[26] Syafa'at yang buruk ialah kebalikan syafa'at yang baik.
[27]
Ada yang mengartikan dengan arti, "Allah Maha Menyaksikan, Menjaga dan
Memperhitungkan segala sesuatu", oleh karena itu, Dia akan membalas
masing-masingnya secara layak.
[28]
Tahiyat atau penghormatan adalah lafaz yang diucapkan oleh salah
seorang ketika bertemu dengan yang lain sebagai penghormatan dan doa,
termasuk pula perkara lain yang terkait dengan lafaz itu berupa muka
yang berseri-seri dsb. Tahiyat yang paling tinggi adalah tahiyat yang
disebutkan syara', berupa ucapan salam yang dilakukan ketika memulai dan
menjawab. Ayat di atas memerintahkan kita ketika diucapkan salam
penghormatan untuk menjawab dengan yang lebih baik atau sepadan. Mafhum
ayat di atas adalah larangan tidak menjawab sama sekali atau menjawab
yang kurang (tidak sepadan). Termasuk menjawab salam penghormatan adalah
menjawab segala ucapan penghormatan yang biasa diucapkan manusia,
selama ucapan tersebut tidak terlarang secara syara' dan tidak melupakan
atau mengganti ucapan salam.
[29] Misalnya diucapkan kepadamu "As Salaamu 'alaikum".
[30] Seperti "Wa 'alaikumus salaam wa rahmatullah wa barakaatuh".
[31]
Yakni sampai "Wa 'alaikumus salam" saja, meskipun yang utama adalah
menjawab lebih. Namun tidak dijawab salam dari orang kafir, ahli bid'ah,
orang fasik (hal itu, karena yang demikian bertentangan dengan maslahat
yang lebih besar), demikian pula tidak jawab orang yang mengucapkan
salam kepada orang yang buang air, kepada orang yang berada di kamar
mandi dan kepada orang yang sedang makan, bahkan makruh menjawabnya
selain yang terakhir, yakni jika salamnya ditujukan kepada orang yang
sedang makan, maka tidak makruh menjawabnya. Adapun salam dari orang
kafir, jawabannya adalah "Wa 'alaikum" saja.
Ayat
di atas juga menunjukkan anjuran memulai salam, namun tidak ditujukan
kepada orang yang sedang dalam keadaan yang tidak diperintahkan memberi
salam, seperti ketika sibuk membaca Al Qur'an, mendengarkan khutbah,
sedang shalat dsb.
[32]
Oleh karena itu, Dia menjaga semua amalan hamba-Nya, yang baik maupun
yang buruk, besar maupun kecil dan akan memberikan balasan terhadapnya
sesuai yang dikehendaki oleh karunia-Nya, keadilan-Nya dan hukum-Nya
yang terpuji.
Sumber dan referensi :
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon