Setelah kalian mempelajari dan memahami ayat-ayat sebelumnya , sekarang saatnya mempelajari ayat selanjutnya , disini
Ayat 154-157: Pengarahan kepada kaum mukmin, dan
ujian dari Allah kepada mereka dengan berbagai bentuk ujian agar Dia
membalas mereka dengan balasan yang paling baik
وَلا
تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ
وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ (١٥٤) وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧
154.[1] Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, (bahwa mereka) mati. Sebenarnya (mereka) hidup[2], tetapi kamu tidak menyadarinya.
155.[3] Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit[4] ketakutan[5], kelaparan, kekurangan harta[6], jiwa[7] dan buah-buahan[8]. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.[9]
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah[10], mereka berkata, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah[11] dan kepada-Nya-lah Kami kembali[12]).
157. Mereka itulah yang memperoleh ampunan[13] dan rahmat dari Tuhannya[14], dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk[15].
Ayat 158: Bersa’i antara Shafa dan Marwah, dan penjelasan pentingnya haji dan umrah
إِنَّ
الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ
أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨
158.[16] Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syi'ar Allah[17]. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya[18] mengerjakan sa'i antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan[19] dengan kerelaan hati[20], maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[21] lagi Maha mengetahui[22].
Ayat
159-162: Wajibnya menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani sehingga
mereka mendapatkan laknat dan kemurkaan
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى
مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ
يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ (١٥٩)إِلا الَّذِينَ
تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٦٠) إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ
كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (١٦١)خَالِدِينَ فِيهَا لا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ
الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (١٦٢
159.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab, mereka itulah yang dilaknat
Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat[23],
160. Kecuali mereka yang telah bertobat[24], mengadakan perbaikan[25] dan menerangkan (kebenaran yang disembunyikannya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah yang Maha Penerima tobat[26] lagi Maha Penyayang[27].
161. Sesungguhnya orang-orang kafir[28] dan mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya[29],
162. Mereka kekal di dalamnya[30]; tidak akan diringankan siksanya[31] dan mereka tidak (pula) diberi penangguhan[32].
[1]
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita agar menjadikan
sabar dan shalat sebagai penolong untuk menghadapi semua masalah, Dia
menyebutkan contoh permasalahan yang patut dihadapi dengan sabar, yaitu
jihad fii sabilillah. Jihad merupakan keta'atan badan yang paling utama
dan paling berat bagi jiwa karena membawa kepada kematian, padahal
orang-orang mencintai dunia karena ingin hidup di sana, bahkan tindakan
sehari-hari yang mereka lakukan juga bertujuan agar dapat hidup di sana.
Sudah menjadi maklum, bahwa hal yang dicintai tidaklah ditinggalkan
oleh orang-orang yang berakal selain untuk memperoleh hal yang lebih
dicintai lagi, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa
orang yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi tinggi
dan agar agama-Nya menjadi tegak, pada hakikatnya ia tidak kehilangan
kehidupan yang dicintainya itu, bahkan ia memperoleh kehidupan yang
lebih besar dan lebih sempurna dari apa yang kita perkirakan. Para
syuhada sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran: 169-171, adalah
orang-orang yang hidup di sisi Allah, memperoleh rezki serta bergembira
karena karunia yang diberikan-Nya dan tidak lagi khawatir dan bersedih.
Kehidupan apa yang lebih baik daripada kehidupan seperti ini; dekat
dengan sisi Allah, memperoleh rezki bagi badan berupa makanan dan
minuman yang enak, memperoleh rezki bagi ruh berupa kegembiraan,
hilangnya rasa takut dan kesedihan. Mereka hidup di alam Barzakh. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan dalam haditsnya bahwa ruh
para syuhada berada di perut-perut burung hijau, di mana burung-burung
itu mendatangi sungai-sungai surga dan memakan buah-buahannya, kemudian
pulang ke lampu-lampu yang menempel di 'Arsy. Dalam ayat ini terdapat
anjuran untuk berjihad fii sabilillah dan bersabar di atasnya. Jika
sekiranya orang-orang mengetahui balasan yang diperoleh para syuhada,
tentu tidak akan ada seorang pun yang meninggalkannya. Akan tetapi,
karena tidak adanya ilmu yang yakin akhirnya ia tidak mau berjihad.
Bahkan jika sekiranya manusia memiliki seribu nyawa, lalu masing-masing
nyawa itu melayang satu-persatu tentu tidak akan dapat mengalahkan
pahala yang besar ini. Oleh karena itu, tidak ada yang diinginkan para
syuhada' setelah mereka melihat langsung pahala Allah dan balasannya
selain ingin kembali ke dunia agar mereka terbunuh lagi beberapa kali.
[2] Hidup di alam barzakh memperoleh kenikmatan yang luar biasa. Ayat ini menunjukkan adanya nikmat kubur.
[3]
Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan bahwa Dia pasti akan menguji
hamba-hamba-Nya agar terlihat jelas siapa yang jujur hatinya dan siapa
yang dusta, siapa yang sabar dan siapa yang keluh kesah. Ini merupakan
sunnatullah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya. Hal itu, karena jika
kesenangan senantiasa didapatkan oleh mereka yang beriman dan tidak
diuji tentu akan terjadi percampuran antara yang benar-benar beriman
dengan yang tidak. Hikmah Allah menghendaki untuk memisahkan siapa orang
yang baik dan siapa orang yang buruk. Inilah tujuan dari ujian. Bukan
untuk menyingkirkan keimanan yang ada pada diri orang mukmin dan bukan
untuk mengeluarkan mereka dari agama, karena Allah tidak akan
menyia-nyiakan iman mereka.
[4]
Kata-kata "sedikit" menunjukkan tidak banyak. Karena jika banyak atau
seluruh hidupnya adalah ketakutan atau senantiasa lapar, tentu manusia
akan binasa. Hal ini, karena ujian bertujuan untuk menyaring, bukan
untuk membinasakan.
[5] Seperti ada ancaman dari musuh.
[6]
Seperti sulitnya mencari rezki atau hilangnya rezki itu baik karena ada
musibah dari langit, hilang, dirampas oleh orang-orang zhalim dsb.
[7]
Seperti dicabutnya nyawa orang yang dicintainya baik itu anaknya,
kerabatnya, kawannya maupun dengan tertimpa penyakit pada badannya atau
badan orang yang dicintainya atau pun syahid fii sabilillah.
[8]
Misalnya hasil panennya gagal karena musibah dari langit seperti
turunnya hujan yang besar sehingga menggenangkan hasil panennya, atau
terbakar atau dimakan belalang dsb.
[9]
Ujian-ujian seperti yang disebutkan di atas pasti terjadi karena
diberitakan oleh Allah yang Maha Mengetahui. Ketika terjadi, ada dua
kelompk manusia dalam hal cara menghadapinya: ada yang keluh kesah dan
ada yang bersabar. Orang yang berkeluh kesah akan mendapatkan dua
musibah, yaitu: hilangnya apa yang dicintai dan tidak memperoleh pahala
yang besar, bahkan ia memperoleh kerugian, imannya melemah, kesabaran,
ridha dan rasa syukurnya hilang dan musibah tersebut terasa semakin
berat. Adapun orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk bersabar ketika
mendapatkan musibah ini, ia tidak keluh kesah baik dalam ucapannya
maupun dalam tindakannya serta mengharapkan pahala dari Alllah, ia juga
mengetahui bahwa pahala yang diperolehnya lebih besar daripada musibah
yang menimpanya, maka ia hanya merasakan satu musibah, dan musibah
tersebut akan menjadi ringan, bahkan nikmat baginya, karena musibah itu
merupakan cara untuk memperoleh hal yang lebih baik dan bermanfa'at.
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyampaikan berita gembira
kepada mereka yang sabar, yakni mereka akan memperoleh pahala tanpa
tanggung-tanggung serta surga-Nya, dan kemudian Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menyebutkan ciri mereka seperti yang disebutkan pada ayat
selanjutnya.
[10] Musibah adalah semua yang membuat hati, badan atau kedua-duanya terasa sakit atau pedih.
[11]
Maksudnya: kita milik Allah, di bawah pengaturan dan tindakan-Nya, Dia
berbuat kepada milik-Nya apa yang Dia kehendaki, kita tidak memiliki
apa-apa terhadap jiwa dan harta sedikit pun. Oleh karena itu, jika Dia
menimpakan ujian kepada kita, maka sesungguhnya itu merupakan tindakan
dari Yang Maha Penyayang kepada milik-Nya, maka tidak boleh diprotes.
Bahkan termasuk sempurnanya pengabdian seorang hamba adalah dia
merasakan bahwa musibah yang menimpanya berasal dari Pemilik dirinya,
Tuhan yang Maha Bijaksana yang lebih sayang kepada dirinya daripada
sayangnya seorang hamba kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, sikap
yang harus dilakukan adalah ridha, bersyukur karena diatur oleh-Nya
kepada hal yang lebih baik bagi dirinya meskipun ia tidak menyadari.
[12]
Di samping kita sebagai milik-Nya, kita juga akan kembali kepada-Nya
pada hari kiamat, lalu masing-masing akan diberi balasan sesuai amalnya.
Jika kita bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhaanahu wa
Ta'aala, maka kita akan mendapatkan pahala secara penuh di sisi-Nya,
sedangkan jika kita berkeluh kesah, maka tidak ada yang kita peroleh
selain keluh kesah, musibah dan hilangnya pahala. Memahaminya seorang
hamba bahwa dirinya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya
merupakan sebab terkuat untuk memperoleh kesabaran.
[13] Ada yang mengartikan "pujian".
[14]
Di antara rahmat-Nya kepada mereka adalah dengan memberikan taufiq
untuk bersabar, di mana dengannya mereka memperoleh pahala yang
sempurna.
[15]
Yakni orang-orang yang mengetahui yang hak, dan dalam hal ini adalah
pengetahuan mereka bahwa mereka milik Allah dan akan kembali kepada-Nya
dan mereka mengamalkannya, yaitu dengan bersabar karena Allah. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala juga akan memberi petunjuk kepada hatinya untuk
bersabar sebagaimana dalam firman-Nya "wa may yu'min billah yahdi
qalbah" (lihat surat At Taghaabun: 11).
Beberapa
ayat di atas (dari ayat 155-157) menunjukkan bahwa barangsiapa yang
tidak bersabar, maka ia akan memperoleh kebalikannya. Ia akan memperoleh
celaan dari Allah, hukuman, kesesatan dan kerugian. Sungguh sangat
berbeda dua golongan tersebut, sungguh ringan beban orang yang bersabar
dan sungguh berat beban orang yang berkeluh kesah. Ayat di atas juga
mempersiapkan jiwa seseorang agar siap menghadapi musibah dengan
bersabar meskipun belum terjadi, menerangkan beberapa sebab yang
membantu kesabaran, pahala yang diperoleh bagi mereka yang bersabar,
menerangkan keadaan orang yang bersabar, menerangkan beberapa macam
musibah dan bahwa ujian dan cobaan merupakan sunnatullah pada
hamba-hamba-Nya, di mana kita tidak akan mendapati adanya perubahan
dalam sunnatullah.
[16]
Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa ia berkata: Aku pernah
bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha, "Beritahukanlah kepadaku
firman Allah Ta'ala, "Innash shafa wal marwata…dst. sampai ay yaththawwafa bihimaa."
Demi Allah, (yang demikian menunjukkan) tidak ada dosa bagi seseorang
untuk tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah." Aisyah menjawab, "Buruk
sekali apa yang kamu katakan, wahai putera saudariku! Sesungguhnya ayat
ini jika seperti apa yang kamu tafsirkan, maka berarti tidak ada dosa
bagi seseorang untuk tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah. Akan tetapi,
ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar, di mana mereka
sebelum masuk Islam berihlal (bertalbiyah) untuk berhala Manat yang
mereka sembah di Musyallal. Di antara orang yang berihlal itu merasa
berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah. Ketika mereka telah masuk
Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang hal itu. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan Marwah," maka Allah menurunkan
ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst." Aisyah
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan
bersa'i antara Shafa dan Marwah, oleh karena itu tidak boleh bagi
seorang pun meninggalkan bersa'i antara Shafa dan Marwah." Kemudian
Aisyah memberitahukan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman, lalu Abu Bakar
berkata, "Sesungguhnya ilmu ini belum pernah aku dengar. Bahkan aku
mendengar beberapa orang ahli ilmu menyebutkan, bahwa orang-orang
–selain yang disebutkan Aisyah yang berihlal dengan Manat- mereka
bersa'i di Shafa dan Marwah. Karena Allah Ta'ala hanya menyebutkan
thawaf di Baitullah, dan tidak menyebutkan bersa'i antara Shafa dan
Marwah dalam Al Qur'an, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami
bersa'i antara Shafa dan Marwah, padahal yang Allah turunkan (dalam
kitab-Nya) adalah berthawaf di Baitullah dan tidak menyebutkan Shafa dan
Marwah. Oleh karena itu, apakah kami berdosa jika kami bersa'i di Shafa
dan Marwah?" Maka Allah menurunkan ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst."
Abu Bakar berkata, "Dengarkanlah ayat ini, ia turun berkenaan kedua
pihak itu; tentang orang-orang yang merasa berdosa bersa'i antara Shafa
dan Marwah di zaman Jahiliyyah dan orang-orang yang berthawaf (di
Baitullah) kemudian mereka merasa berdosa bersa'i antara Shafa dan
Marwah karena Allah Ta'ala hanya memerintahkan thawaf di Baitullah dan
tidak menyebutkan bersa'i di Shafa sehingga bersa'i disebutkan setelah
diterangkan thawaf di Baitullah."
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa ia pernah ditanya tentang
(bersa'i) antara Shafa dan Marwah, lalu ia menjawab, "Kami memandang,
bahwa (bersa'i) antara Shafa dan Marwah termasuk perkara Jahiliyyah.
Ketika Islam datang, kami pun menahan diri (tidak melakukannya), maka
Allah menurunkan ayat, "Innash shafaa wal marwata min sya'aairillah..dst."
Namun demikian, tidak ada yang bahwa ayat tersebut turun berkenaan kedua pihak itu.
[17]
Syi'ar Allah adalah tanda-tanda agama yang nampak atau tempat beribadah
kepada Allah. Karena sebagai syi'ar-Nya, maka kita diperintahkan untuk
memuliakannya, wa may yu'azzhim sya'aairallah fa innahaa min taqwal
quluub (dan barangsiapa yang memuliakan syi'ar-syi'ar Allah, maka hal
itu timbul dari ketakwaan yang ada di dalam hati).
[18]
Allah mengungkapkan dengan perkataan "tidak ada dosa" (padahal hukumnya
wajib) sebab sebagian sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas
tempat berhala. dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai
tempat sa'i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan
ayat ini.
[19]
Yakni yang disyari'atkan Allah, seperti shalat, puasa, hajji, umrah,
thawaf dsb. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengerjakan
perkara yang tidak disyari'atkan (bid'ah), maka tidak ada yang diperoleh
selain kelelahan, bukan kebaikan, bahkan bisa menjadi keburukan jika ia
melakukannya dengan sengaja dan mengetahui bahwa hal itu tidak
disyari'atkan.
[20] Yakni ikhlas karena Allah. Ada pula yang mengartikan "mengerjakan amalan yang tidak wajib baginya".
[21]
Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal
hamba-Nya, jika sedikit dibalas-Nya dengan balasan yang banyak, Dia
tidak menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya, dan tidak mengurangi
meskipun seberat dzarrat (debu). Jika seorang hamba mengerjakan
perintah-Nya Dia akan membantu, memujinya dan akan memberikan balasan
berupa cahaya, iman dan kelapangan di hatinya, pada badannya akan
diberikan kekuatan dan semangat dan pada semua keadaannya akan diberikan
keberkahan dan tambahan, sedangkan pada amalnya akan ditambah lagi
dengan taufiq-Nya. Pada hari kiamat, pahala yang diperoleh seorang hamba
tersebut akan dipenuhkan dan tidak akan dikurangi. Di antara syukur-Nya
kepada hamba-Nya adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan sesuatu
karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sejengkal, maka Allah akan mendekat
kepadanya sehasta, barangsiapa yang mendekat kepada-Nya sehasta, maka
Dia akan mendekat kepada orang itu sedepa dan barangsiapa yang mendekat
kepada-Nya sambil berjalan, maka Dia akan mendekat kepadanya sambil
berlari.
[22]
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga mengetahui siapa yang berhak
memperoleh pahala yang sempurna sesuai niat, iman dan ketakwaannya, Dia
mengetahui amalan-amalan yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, oleh karenanya
Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan hamba-hamba-Nya akan
memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang merekjakerjakan
sesuai niat mereka yang diketahui oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
[23]
Ayat ini meskipun menerangkan tentang keadaan ahli kitab berupa sikap
mereka menyembunyikan isi Taurat atau Injil yang menerangkan tentang
keadaan rasul terakhir (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) dan
sifatnya, namun ayat ini umum mengena kepada siapa saja yang
menyembunyikan apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan yang
jelas dan petunjuk. Karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mengambil
perjanjian kepada ahli ilmu agar mereka menerangkan kepada manusia
nikmat yang Allah berikan berupa pengetahuan agama. Barangsiapa yang
malah menyembunyikannya, maka ia telah mengerjakan dua mafsadat, yaitu
menyembunyikan apa yang Allah turunkan dan menipu hamba-hamba Allah.
Mereka akan dilaknat Allah, yakni dijauhkan dari rahmat dan dekat
dengan-Nya serta akan dilaknat oleh mereka yang melaknat, yaitu semua
makhluk karena telah melakukan penipuan dan merusak agama mereka. Mafhum
ayat ini, bahwa orang yang mengajarkan kebaikan dan menerangkan kepada
manusia apa yang Allah turunkan, maka Allah akan memberikan shalawat
(rahmat dan ampunan) dan malaikat akan mendo'akannya, bahkan tidak hanya
malaikat, ikan-ikan yang ada di laut pun mendo'akannya karena
tindakannya untuk mengadakan perbaikan kepada makhluk dan memperbaiki
agama mereka serta mendekatkan mereka dengan rahmat Allah Azza wa Jalla.
[24]
Yakni yang rujuk dari perbuatan mereka selama ini disertai penyesalan,
berhenti dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi serta beristighfar
kepada Allah dari kesalahan-kesalahan itu.
[25]
Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik
untuk menghilangkan akibat-akibat buruk dari kesalahan-kesalahan yang
dilakukan.
[26] Dengan memaafkan dosa apabila mereka bertobat dan berbuat ihsan setelah dihalangi.
[27]
Yang memiliki sifat rahmah (sayang) yang agung, saking luasnya rahmat
itu sampai mengena kepada segala sesuatu. Di antara rahmat-Nya adalah
memberi taufiq kepada mereka untuk bertobat dan kembali kepada-Nya, lalu
Dia merahmati mereka dengan menerima tobatnya.
[28] Di samping kafir, mereka juga menyembunyikan kebenaran.
[29]
"Manusia" di sini ada yang berpendapat umum, yakni semua manusia dan
ada yang berpendapat bahwa yang melaknat adalah kaum mukmin.
[30] Yakni di dalam laknat dan azab.
[31] Meskipun hanya sebentar atau hanya sekejap mata.
[32]
Karena waktu penangguhan yaitu di dunia sudah mereka lewati tanpa
bertobat, dan apabila sudah tiba ajal seseorang, maka Allah Subhaanahu
wa Ta'aala tidak akan memberi tangguh lagi (lihat surat Al Munafiqun:
11).
Sumber dan referensi :
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon