Yah setelah kita mempelajari dan memahami Tafsir atau kandungan isi dari Surah Ali-Imran , Sekarang saatnya kita mempelajari surah yang selanjutnya yaitu An-Nisa . Surah ini berjumlah 176 ayat dan termasuk salah satu surah yang diturunkan di Madinah (Madaniyyah) . Ini adalah surah ke 4 dalam Al-Qur'an . Langsung saja kita mulai dari ayat pertama sampai keenam :D .
Ayat 1: Perintah bertakwa kepada Allah Subhaanahu
wa Ta'aala, dan mengingatkan manusia dengan nenek moyang mereka, yaitu
Adam ‘alaihis salam
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١
Terjemah Surat An Nisa Ayat 1
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
1.[1] Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam)[2], dan daripadanya[3] Allah menciptakan istrinya[4];
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta[5], dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat
2-6: Batasan poligami dan hikmahnya dalam Islam, wasiat berbuat baik
kepada anak-anak yatim dan memelihara harta mereka, dan menerangkan kewajiban
para washi (orang yang mendapat wasiat) terhadap asuhannya dan
kewajiban para wali terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya
وَآتُوا
الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا
كَبِيرًا (٢) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣) وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ
هَنِيئًا مَرِيئًا (٤) وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي
جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٥) وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى
إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ
يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (٦
Terjemah Surat An Nisa Ayat 2-6
2.[6] Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk[7], dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu[8]. Sesungguhnya tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar[9].
3.[10] Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (apabila kamu menikahinya)[11], maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi[12]: dua, tiga atau empat[13]. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil[14], maka (nikahilah) seorang saja[15], atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki[16]. Yang demikian itu[17] lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
4.[18] Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan[19]. Kemudian, jika mereka[20] menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati[21], maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati[22].
5. Dan janganlah kamu[23] serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya[24], harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu[25] yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja[26] dan pakaian (dari hasil harta itu) serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik[27].
6. Dan ujilah[28] anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah[29]. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas[30], maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakan harta anak yatim melebihi batas yang patut[31] dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa[32].
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang
miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut[33] [34]. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi[35]. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
[1]
Allah Subhaanahu wa Ta'aala memulai surat ini dengan perintah bertakwa
kepada-Nya, mendorong mereka beribadah kepada-Nya dan menyuruh menjaga
tali silaturrahim. Allah Ta'ala menerangkan sebab yang mengharuskan
semua itu, yaitu karena Dia adalah Tuhan kamu yang menciptakan kamu.
Demikian juga karena kamu biasa menggunakan nama-Nya untuk meminta
antara yang satu dengan yang lain. Di samping itu, Dia pun selalu
mengawasi kamu. Ini semua menghendaki kita untuk memiliki sikap
muraqabah, rasa malu dan tetap menjaga ketakwaan kepada-Nya. Di awal
surat ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan secara umum
bertakwa kepada-Nya dan menyambung tali silaturrahim, dan akan
disebutkan secara rincinya ketakwaan itu pada ayat-ayat selanjutnya.
Nampaknya ayat-ayat selanjutnya berpangkal kepada masalah tersebut,
menerangkan apa yang masih samar dalam masalah di atas.
[2]
Disebutkan bahwa manusia berasal dari seorang diri adalah agar manusia
menyadari bahwa bapak mereka adalah sama (Adam 'alaihis salam), di mana
hal ini menghendaki mereka untuk saling menyayangi antara satu dengan
lainnya. Oleh karenanya, disebutkan pula perintah memelihara hubungan
silaturrahim dan tidak memutuskannya untuk memperkuat masalah ini.
Disebutkan sebelumnya perintah bertakwa kepada Allah adalah agar manusia
semuanya sama-sama menyembah kepada Allah dan bersatu di atasnya.
[3]
Maksud daripadanya menurut jumhur (mayoritas) mufassirin ialah dari
bagian tubuh (tulang rusuk) Adam 'alaihis salam. berdasarkan hadis
riwayat Bukhari dan Muslim. Namun ada pula yang menafsirkan daripadanya
di sini adalah dari unsur yang serupa, yakni tanah yang daripadanya Adam
'alaihis salam diciptakan.
[4] Yaitu Hawa'.
[5]
Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau
memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti As-aluka billah
artinya "saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah."
Digunakannya nama Allah adalah karena orang yang meminta mengetahui
bahwa orang yang diminta tentu mengagungkan Allah Tuhannya, oleh
karenanya ia tentu akan memenuhi permintaannya.
[6]
Ayat ini turun berkenaan dengan seorang anak yatim yang meminta harta
kepada walinya, namun walinya enggan memberikan. Ayat ini merupakan
wasiat pertama yang terkait dengan hak orang lain, terutama anak yatim
yang ditinggal wafat bapaknya saat mereka masih kecil, lemah dan tidak
ada orang yang menanggung mereka, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang memerintahkan hamba-hamba-Nya berbuat
ihsan kepada mereka, tidak mendekati harta mereka kecuali dengan cara
yang baik serta memberikan harta mereka secara sempurna saat mereka
telah baligh dan cerdas.
[7]
Misalnya menukar harta anak yatim yang bagus dengan harta milik wali
yang jelek atau si wali mengambil harta anak yatim yang berharga lalu
menukarnya dengan hartanya yang murah.
[8]
Yakni mencampurnya dengan maksud agar dapat memakan harta mereka. Hal
ini merupakan helat (cari-cari jalan untuk menghalalkan yang haram).
[9]
Dalam ayat ini terdapat dalil adanya kewalian terhadap anak yatim. Di
dalamnya juga terdapat perintah mengurus hartanya dengan baik,
memeliharanya, mengembangkannya dan menjaganya dari bahaya.
[10]
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada
seseorang yang memiliki seorang anak yatim perempuan, lalu laki-laki itu
menikahinya, dan ia memiliki seranting kurma, sehingga ia menahan
wanita itu karenanya, sedangkan dalam dirinya tidak ada rasa suka
terhadap si wanita, maka turunlah ayat, "Wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa."
Saya kira (yakni menurut Hisyam bin Yusuf seorang rawi), "Si yatim ini
adalah sekutunya dalam ranting kurma itu dan dalam hartanya."
[11] Misalnya tidak memberikan mereka mahar seperti halnya wanita-wanita yang lain.
[12]
Yang sesuai dengan pilihanmu, misalnya baik dalam beragama, berharta,
cantik, berkedudukan dan bernasab serta sifat-sifat lain yang mendorong
untuk menikahinya, namun yang utama adalah mencari yang baik agamanya
(shalihah) sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan bahwa sepatutnya seseorang
memilih calon istri yang tepat sebelum menikah, bahkan syari' (penetap
syari'at) membolehkannya untuk melihat wanita yang hendak dinikahi agar
ia betul-betul matang dalam memilih.
[13] Jangan lebih dari empat.
[14]
Berlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi
kebutuhan istri seperti dalam hal pakaian, tempat, giliran dan lain-lain
yang bersifat lahiriyah.
[15]
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat dirinya bisa berlaku adil
dan sanggup memenuhi hak istri yang lain. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ayat ini diterangkan
bahwa batas poligami hanya sampai empat wanita saja.
[16] Karena mereka tidak memiliki hak yang sama dengan istri sehingga tidak wajib adil, seperti dalam hal giliran.
[17] Menikahi wanita sampai empat (tidak lebih), atau satu saja atau dengan budak wanita.
[18]
Karena biasanya kaum lelaki menzalimi wanita dalam hal mahar, mereka
mengurangi maharnya, terlebih jika nilainya besar dan langsung
diberikan, hatinya merasa berat memberikannya, maka di ayat ini Allah
Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk memberikan mahar mereka,
jangan sengaja menundanya atau menguranginya. Dalam ayat ini terdapat
dalil bahwa mahar diberikan kepada wanita apabila mukallaf (sudah
dewasa), dan bahwa si wanita yang memilikinya. Demikian juga bahwa wali
tidak berhak apa-apa terhadap maskawin itu selain pemberian yang
direlakannya.
[19]
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan menurut
persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan
ikhlas.
[20] Yakni wanita. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa si wanita berhak bertindak terhadap hartanya jika ia cerdas.
[21] Yakni dengan keridaan dan menjadi pilihannya menggugurkan sebagiannya atau menundanya atau bahkan menggantinya.
[22] Kata-kata ini "Maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati" untuk menghiangkan rasa tidak enak dalam hati ketika menerima pemberian tersebut.
[23] Yakni para wali.
[24]
Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig
atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya baik karena
hilang akal seperti orang gila, maupun karena belum cerdas seperti orang
yang biasa boros. Dalam ayat ini, Allah melarang para wali menmyerahkan
harta mereka yang belum sempurna akalnya agar harta itu tidak habis
atau binasa. Hal itu, karena Allah menjadikan harta sebagai penopang
hamba-hamba-Nya untuk maslahat dunia mereka maupun agama, mereka yang
belum sempurna akalnya tidak dapat mengatur hartanya dan menjaganya.
Oleh karena itu, wali mereka yang bertindak, yaitu dengan mengeluarkan
harta untuk makan dan pakaian mereka, serta mengeluarkan untuk sesuatu
yang dharuri (penting) atau dibutuhkan mereka baik terkait dengan agama
maupun dunia.
[25]
Disandarkannya harta kepada para wali sebagai isyarat wajibnya bagi
para wali memberlakukan harta anak yatim sebagaimana mereka
memberlakukan harta mereka dengan menjaganya, bertindak tepat dan tidak
membawa kepada hal-hal yang berbahaya.
[26]
Yakni berikanlah mereka makanan dari harta itu. Dalam ayat ini terdapat
dalil bahwa nafkah orang gila, anak kecil, orang yang kurang akalnya
diambil dari harta mereka jika mereka memiliki harta. Demikian juga
menunjukkan bahwa perkataan wali adalah diterima dalam hal dakwaannya
berupa nafkah yang memang mungkin dan pakaian, karena Allah menjadikan
mereka sebagai orang yang diberi amanat (dipercaya) terhadap harta
orang-orang yang belum sempurna akalnya itu, sehingga perkataan orang
yang diberi amanat adalah diterima.
[27] Misalnya dengan menerangkan kepada mereka -saat mereka meminta harta- bahwa harta akan diserahkan kepada mereka nanti setelah mereka sudah pandai mengaturnya.
[28]
Yakni mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan,
usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak
itu dapat dipercaya. Contoh cara mengetahui apakah mereka sudah mampu
mengatur harta atau belum adalah dengan memberikan sedikit harta,
kemudian diperhatikan apakah ia akan menghabiskan semua itu tanpa
menyisakan untuk kebutuhannya yang akan datang atau menyisakannya. Jika
ternyata ia tidak menyisakannya, maka tandanya ia belum bisa mengatur
harta, maka hartanya belum bisa diserahkan kepadanya, bahkan ia masih
tetap dianggap belum sempurna akalnya meskipun usianya sudah dewasa.
[29] Yakni usia baligh, baik dengan bermimpi atau sudah berusia 15 tahun.
[30] Keadaan agamanya baik dan sudah pandai memelihara harta.
[31] Melebihi batas yang dihalalkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[32]
Yakni jangan memakan harta mereka saat mereka masih kecil, di mana
ketika itu mereka tidak bisa mengambilnya dari kamu dan tidak bisa
mencegah kamu memakannya. Hal ini adalah perkara yang sering dilakukan
oleh para wali yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, di mana
mereka menjadikan kewalian terhadap anak yatim sebagai kesempatan, bukan
sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, mereka pun
menghabiskan harta itu sebelum anak-anak yatim dewasa.
[33] Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Ta'ala, "Barang
siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka
bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut." Bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan harta anak yatim, jika pengurusnya
seorang yang fakir, maka ia boleh memakan sebagai ganti kepengurusannya
terhadapnya, namun secara wajar.
[34] Misalnya sesuai kepengurusannya. Contoh lain memakan harta anak yatim secara ma'ruf (wajar) adalah:
1. Ia mengambilnya, namun sifatnya hanya sebagai pinjaman.
2. Ia memakannya sesuai kebutuhan tanpa berlebihan.
3. Ia mengambilnya ketika melakukan sesuatu untuk anak yatim.
4. Ia mengambilnya ketika terpaksa, jika ia sudah mampu, nanti akan dibayarnya, namun jika ia tidak mampu, maka menjadi halal.
[35] Bahwa mereka telah menerimanya dan beban kalian telah lepas agar tidak timbul pertengkaran. Perintah ini merupakan saran.
Sumber dan referensi :
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
1. http://www.tafsir.web.id
Semoga bermanfaat apa yang admin tulis/bagikan ini . Jika ada kesalahan di post ini , silahkan memberitahu admin di kolom komentar di bawah ini . Terima Kasih
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon